SALJU MUSIM KEMARAU
Namaku Snow, aku hidup dengan keluarga sederhana
namun bahagia. Ya bahagia. Ayahku seorang tukang parker. Yang aku tahu, ayah
adalah tipe lelaki yang selalu jujur, ia selalu mengatakan hal-hal yang hatinya
katakan. Lelaki polos itu adalah ayah terhebat di dunia ini. Semua anak pasti
selalu mengatakan itu bukan ? Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang
merangkap menjadi tukang cuci baju tetangga. Ia adalah wanita sedingin es di
kutub utara. Tatapan matanya selalu mengatakan “Snow, anakku cuma kau
harapanku, penopang masa depanku.” Ia sangat berharap padaku. Mengenai namaku,
ayah bilang kata “snow” ia ketahui dari sebuah film dongeng yang pernah ia
tonton dari sebuah layar tancap. Tahukah kalian? Ayahku tidak tahu apa
sebenarnya arti dari namaku. Ia hanya mengatakan bahwa ia ingin aku hidup
seperti Putri Snow yang selalu tegar dan pantang menyerah tetapi tetap berhati
lembut selembut kapas. Naif sekali jalan pikiran ayah,pikirku.
Tadinya aku pikir hidupku sudah sangat sempurna,
setiap pagi disiapkan sarapan oleh ibu, di antar jemput ke sekolah oleh ayah
meskipun dengan bersepeda, aku pikir itu semua sudah cukup untukku. Dulu aku
tidak pernah berpikir bahwa dunia sangat luas untuk dijelajahi. Bagiku, dunia
adalah rumah, sekolah, dan tentu saja perjalanan menuju sekolah. Tapi sekarang
aku sudah dewasa, mataku sudah mulai terbuka
untuk menatap dunia yang lain. Banyak tempat yang ingin aku datangi
bersama teman-teman layaknya seorang remaja.
Di SMP, kelas 1 tepatnya. Untuk pertama kalinya aku
mengetahui apa arti nama ku itu. Indah sekali, baru kusadari ternyata aku
memang mempunyai nama yang cukup indah “Salju”, oh indahnya nama itu pikirku.
Aku sekolah di SMA yang cukup ternama di kotaku waktu itu, tak perlu heran,
mengapa aku hanya anak dari tukang ojek bisa sekolah di sekolah favorit, tentu
saja seperti cerita-cerita anak-anak senasib denganku yang hidup dengan
beasiswa.
Ya, layaknya sekolah-sekolah favorit, orang-orang
didalamnya juga tentu saja beragam dari yang disupirin supir pribadi sampai
yang nyetir sendiri juga ada. Berteman dengan mereka, mendengarkan
cerita-cerita mereka yang sering libur ke luar negeri setiap libur semester
tiba. Dan hanya ada satu hal yang membuatku benar-benar merasa iri, mereka
pernah menikmati turunnya salju jika berlibur keluar negeri, mereka tidak
bernama Snow, tapi mereka telah merasakan salju, sedangkan aku, namaku Snow
tapi aku belum pernah merasakan salju. Dari saat itu, merasakan salju adalah
impian terbesarku.
“Ayah, aku ingin berlibur ke luar negeri. Namaku
Snow, tapi aku tidak tahu bagaimana rasanya salju.” Rengekan yang hamper setiap
hari kulakukan. Awalnya aku berencana untuk menabung, tapi, jika mengandalkan
tabungan maka akan sangat lama bagiku untuk dapat pergi keluar negeri.
Akhirnya, yang kulakukan adalah mendesak orang tuaku agar mau membiayaiku untuk
keluar negeri merasakan salju. Ya, seperti anak yang tak sadar diri, aku tahu,
tidak mungkin bagi orang tuaku mengabulkan rengekanku. Tapi, aku tahu mereka
sangat menyayangiku dan melakukan apapun untukku adalah satu-satunya
keyakinanku.
Dua minggu lagi aku tepat berumur 16 tahun. Dan
keinginanku belum juga terkabul, akhirnya aku ajukan mogok sekolah kepada orang
tuaku jika di hari ulang tahunku aku tidak punya tiket keluar negeri. Meskipun
rasnya mustahil, aku tetap tak peduli. Ibuku senantiasa member aku pengertian
untuk mengerti keadaan. Dan lagi-lagi mulut yang telah disekolahkan ini hanya
bisa menyakiti. Percuma saja aku sekolah, belajar dengan baik-baik selama ini.
Aku kan satu-satunya anak kalian. Aku Cuma mau merasakan salju sekali saja
dalam hidupku, tapi kalian tidak bisa memenuhinya. Selama ini, bukankah aku tak
pernah merepotkan kalian ? Aku sekolah dengan beasiswa yang kuperoleh, kalian
tidak perlu repot-repot mencarikan biaya. Aku hanya meminta ke luar negeri.” Dan
bla… bla… lainnya. Ucapku tak berpikir betapa itu sangat menyesakkan hati ibuku
yang hanya bisa menyisakan tangis.
Ayahku tidak mengerti, mungkin ia sedang berpikir
mengapa putrinya berubah menjadi serigala liar kini. Akhirnya, untuk
menenangkanku, ia pun berjanji ia akan membwaku menyaksikan salju. Meskipun
sulit dipercaya, tapi memang itulah kata-kata yang kutunggu.
Suatu malam, tidak seperti biasanya, ayah belum pulang
dari tempatnya bekerja. Ya mungkin, ayah perlu kerja lebih giat lagi untuk
memenuhi keinginnaku ini. Dan tiba-tiba, ketika aku sibuk dengan buku ku dan
ibu sibuk dalam kegiatnnya menambal baju yang sudaj robek, terdengan suara dari
luar yang sudah sangat kukenali.
“Snow, Snow…” Teriak ayahku setelah memasukkan sepeda
ontel kesayangannya. “Ayah akan membawamu lihat salju, salju yang lebih bagus
dari yang diluar negeri sana.” Teriaknya bersemangat. Aku yang sebenarnya masih
merasa heran begitu sumringah mendengarnya. “Kita akan ke salju bersama-sama
ya, Nak.” Ucapnya dengan lembut kemudian.
“Benar
ya Ayah, ayah janjikan ?”
“Iya,
itulah janji ayah.”
Hari
ini adalah hari minggu, Snow tepat berumur 16 tahun. Ayah Snow hari ini juga
tidak bekerja karena ia telah janji pada Snow untuk membawanya melihat salju.
Snow sudah bersiap-siap dari kemrain semua baju nya dimasukkan ke dalam tasnya.
Tapi ayahnya bilang, tidak perlu mempersiapkan itu semua. Snow tidak akan
membutuhkannya. Ayah Snow juga meminta ibu Snow untuk menyiapkan bekal yang
enak. Sepertinya ayah Snow benar-benar telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Waktu
keberangkatanpun tiba, ayah Snow ingin membonceng Snow dengan sepeda
kesayangannya. Tapi, Snow menolaknya, ya, yang ia katakana “Sekarang Snow bukan
lagi si kecil Snow yang selalu duduk dibelakang diboncengan Ayah. Snow sudah
besar, Snow akan berdiri di kaki Snow sendiri, lagi pula Snow sekarang sudah
sangat berat untuk ayah bonceng.” Tambahnya.
“Snow,
anak kesayangan ayah. Ayah tahu sekarang Snow sudah besar. Jadi, biarlah ayah
membonceng Snow untuk terakhir kalinya, sebelum Snow bertambah dewasa dan
bertambah berat” senyumnya. Baiklah, akhirnya Snow mengalah ia pun duduk
diboncengan sepeda ayahnya.
“Kita
akan kemana ayah ? Korea, Perancis, atau dimana ?” Tanya Snow yang merasa aneh
tetapi tetap bahagia, karena ia tahu ayahnya memang tak pernah berbohong
padanya. “Tidak kita tidak pergi sejauh itu. Tapi, ayah janji, Snow akan merasa
senang disitu.”
“Maksud
ayah kita tidak keluar negeri gitu ?”
“Tidak
kita tidak keluar negeri.” Mendengar jawaban ayah Snow. Snowpun mulai merasa
marah, ia merasa ayah telah berbohong padanya, mana mungkin bisa melihat salju
tanpa keluar negeri, di Indonesia yang sedang musim kemarau mana mungkin ada
salju. Ia pun marah-marah pada ayahnya bahkan sempat mengatakan ayahnya bodoh.
Karena
marah-marah, akhirnya sepeda yang dibawa ayah menjadi tak seimbang. Dan…
Braaaakkkk…
Sepeda ayah Snow menabrak sebuah truk dari arah berlawanan, Snow terpental dari
sepeda, sementara ayah Snow tertabrak truk, Snow berteriak “Ayaaaaaahhh”. Ayah
Snow banyak mengeluarkan darah dari kepalnya.
“Snow,
anak kesayangan ayah, tepat di depan persimpangan itu ada sebuah taman,
pergilah kesana, ada pohon besar yang kelopaknya berwarna putih dan berguguran,
sama seperti salju yang diceritakan teman-teman Snow itu. Ayah ingin kita
melihat bersama-sama, tetapi sepertinya ayah tidak bisa. Anakku, Snow adalah
kelopak bunga itu, bagi ayah, Snow adalah salju di hati ayah, yang memberi kesejukan
dan kedamaian di hati ayah. Ketika ayah lelah, wajah Snow adalah penghilang
lelah itu, tetaplah menjadi salju di musim kemarau yang memberi kedamaian untuk
orang-orang disekitarnya sama seperti kelopak bunga di pohon itu” Ucapan ayah
Snow yang terakhir kalinya.
Seminggu
telah berlalu, kesedihan mendalam masih saja menyesakkan hati Snow, Ia berdiri
dibawah pohon yang ayah Snow maksud. Benar saja, kelopak itu berguguran seperti
salju di musim kemarau. Tanpa Snow sadari air matanya mulai mengalir kembali. “Terima
kasih untuk cintamu ayah, Snow janji akan menjadi keloapak ini, yang hadir
seperti salju di musim kemarau yang memberi kedamaian untuk orang lain.”