::: Assalamu'alaikum Wr.Wb. ::: Selamat Datang di blog saya. Semoga hari ini lebih baik dari kemarin ::: ROHMA DEARNI SARAGIH :::

Kamis, 31 Oktober 2013

Cerpen : Salju Musim Kemarau


SALJU MUSIM KEMARAU

Namaku Snow, aku hidup dengan keluarga sederhana namun bahagia. Ya bahagia. Ayahku seorang tukang parker. Yang aku tahu, ayah adalah tipe lelaki yang selalu jujur, ia selalu mengatakan hal-hal yang hatinya katakan. Lelaki polos itu adalah ayah terhebat di dunia ini. Semua anak pasti selalu mengatakan itu bukan ? Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang merangkap menjadi tukang cuci baju tetangga. Ia adalah wanita sedingin es di kutub utara. Tatapan matanya selalu mengatakan “Snow, anakku cuma kau harapanku, penopang masa depanku.” Ia sangat berharap padaku. Mengenai namaku, ayah bilang kata “snow” ia ketahui dari sebuah film dongeng yang pernah ia tonton dari sebuah layar tancap. Tahukah kalian? Ayahku tidak tahu apa sebenarnya arti dari namaku. Ia hanya mengatakan bahwa ia ingin aku hidup seperti Putri Snow yang selalu tegar dan pantang menyerah tetapi tetap berhati lembut selembut kapas. Naif sekali jalan pikiran ayah,pikirku.
Tadinya aku pikir hidupku sudah sangat sempurna, setiap pagi disiapkan sarapan oleh ibu, di antar jemput ke sekolah oleh ayah meskipun dengan bersepeda, aku pikir itu semua sudah cukup untukku. Dulu aku tidak pernah berpikir bahwa dunia sangat luas untuk dijelajahi. Bagiku, dunia adalah rumah, sekolah, dan tentu saja perjalanan menuju sekolah. Tapi sekarang aku sudah dewasa, mataku sudah mulai terbuka  untuk menatap dunia yang lain. Banyak tempat yang ingin aku datangi bersama teman-teman layaknya seorang remaja.
Di SMP, kelas 1 tepatnya. Untuk pertama kalinya aku mengetahui apa arti nama ku itu. Indah sekali, baru kusadari ternyata aku memang mempunyai nama yang cukup indah “Salju”, oh indahnya nama itu pikirku. Aku sekolah di SMA yang cukup ternama di kotaku waktu itu, tak perlu heran, mengapa aku hanya anak dari tukang ojek bisa sekolah di sekolah favorit, tentu saja seperti cerita-cerita anak-anak senasib denganku yang hidup dengan beasiswa.
Ya, layaknya sekolah-sekolah favorit, orang-orang didalamnya juga tentu saja beragam dari yang disupirin supir pribadi sampai yang nyetir sendiri juga ada. Berteman dengan mereka, mendengarkan cerita-cerita mereka yang sering libur ke luar negeri setiap libur semester tiba. Dan hanya ada satu hal yang membuatku benar-benar merasa iri, mereka pernah menikmati turunnya salju jika berlibur keluar negeri, mereka tidak bernama Snow, tapi mereka telah merasakan salju, sedangkan aku, namaku Snow tapi aku belum pernah merasakan salju. Dari saat itu, merasakan salju adalah impian terbesarku.
“Ayah, aku ingin berlibur ke luar negeri. Namaku Snow, tapi aku tidak tahu bagaimana rasanya salju.” Rengekan yang hamper setiap hari kulakukan. Awalnya aku berencana untuk menabung, tapi, jika mengandalkan tabungan maka akan sangat lama bagiku untuk dapat pergi keluar negeri. Akhirnya, yang kulakukan adalah mendesak orang tuaku agar mau membiayaiku untuk keluar negeri merasakan salju. Ya, seperti anak yang tak sadar diri, aku tahu, tidak mungkin bagi orang tuaku mengabulkan rengekanku. Tapi, aku tahu mereka sangat menyayangiku dan melakukan apapun untukku adalah satu-satunya keyakinanku.
Dua minggu lagi aku tepat berumur 16 tahun. Dan keinginanku belum juga terkabul, akhirnya aku ajukan mogok sekolah kepada orang tuaku jika di hari ulang tahunku aku tidak punya tiket keluar negeri. Meskipun rasnya mustahil, aku tetap tak peduli. Ibuku senantiasa member aku pengertian untuk mengerti keadaan. Dan lagi-lagi mulut yang telah disekolahkan ini hanya bisa menyakiti. Percuma saja aku sekolah, belajar dengan baik-baik selama ini. Aku kan satu-satunya anak kalian. Aku Cuma mau merasakan salju sekali saja dalam hidupku, tapi kalian tidak bisa memenuhinya. Selama ini, bukankah aku tak pernah merepotkan kalian ? Aku sekolah dengan beasiswa yang kuperoleh, kalian tidak perlu repot-repot mencarikan biaya. Aku hanya meminta ke luar negeri.” Dan bla… bla… lainnya. Ucapku tak berpikir betapa itu sangat menyesakkan hati ibuku yang hanya bisa menyisakan tangis.
Ayahku tidak mengerti, mungkin ia sedang berpikir mengapa putrinya berubah menjadi serigala liar kini. Akhirnya, untuk menenangkanku, ia pun berjanji ia akan membwaku menyaksikan salju. Meskipun sulit dipercaya, tapi memang itulah kata-kata yang kutunggu.
Suatu malam, tidak seperti biasanya, ayah belum pulang dari tempatnya bekerja. Ya mungkin, ayah perlu kerja lebih giat lagi untuk memenuhi keinginnaku ini. Dan tiba-tiba, ketika aku sibuk dengan buku ku dan ibu sibuk dalam kegiatnnya menambal baju yang sudaj robek, terdengan suara dari luar yang sudah sangat kukenali.
“Snow, Snow…” Teriak ayahku setelah memasukkan sepeda ontel kesayangannya. “Ayah akan membawamu lihat salju, salju yang lebih bagus dari yang diluar negeri sana.” Teriaknya bersemangat. Aku yang sebenarnya masih merasa heran begitu sumringah mendengarnya. “Kita akan ke salju bersama-sama ya, Nak.” Ucapnya dengan lembut kemudian.
“Benar ya Ayah, ayah janjikan ?”
“Iya, itulah janji ayah.”
Hari ini adalah hari minggu, Snow tepat berumur 16 tahun. Ayah Snow hari ini juga tidak bekerja karena ia telah janji pada Snow untuk membawanya melihat salju. Snow sudah bersiap-siap dari kemrain semua baju nya dimasukkan ke dalam tasnya. Tapi ayahnya bilang, tidak perlu mempersiapkan itu semua. Snow tidak akan membutuhkannya. Ayah Snow juga meminta ibu Snow untuk menyiapkan bekal yang enak. Sepertinya ayah Snow benar-benar telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Waktu keberangkatanpun tiba, ayah Snow ingin membonceng Snow dengan sepeda kesayangannya. Tapi, Snow menolaknya, ya, yang ia katakana “Sekarang Snow bukan lagi si kecil Snow yang selalu duduk dibelakang diboncengan Ayah. Snow sudah besar, Snow akan berdiri di kaki Snow sendiri, lagi pula Snow sekarang sudah sangat berat untuk ayah bonceng.” Tambahnya.
“Snow, anak kesayangan ayah. Ayah tahu sekarang Snow sudah besar. Jadi, biarlah ayah membonceng Snow untuk terakhir kalinya, sebelum Snow bertambah dewasa dan bertambah berat” senyumnya. Baiklah, akhirnya Snow mengalah ia pun duduk diboncengan sepeda ayahnya.
“Kita akan kemana ayah ? Korea, Perancis, atau dimana ?” Tanya Snow yang merasa aneh tetapi tetap bahagia, karena ia tahu ayahnya memang tak pernah berbohong padanya. “Tidak kita tidak pergi sejauh itu. Tapi, ayah janji, Snow akan merasa senang disitu.”
“Maksud ayah kita tidak keluar negeri gitu ?”
“Tidak kita tidak keluar negeri.” Mendengar jawaban ayah Snow. Snowpun mulai merasa marah, ia merasa ayah telah berbohong padanya, mana mungkin bisa melihat salju tanpa keluar negeri, di Indonesia yang sedang musim kemarau mana mungkin ada salju. Ia pun marah-marah pada ayahnya bahkan sempat mengatakan ayahnya bodoh.
Karena marah-marah, akhirnya sepeda yang dibawa ayah menjadi tak seimbang. Dan…
Braaaakkkk… Sepeda ayah Snow menabrak sebuah truk dari arah berlawanan, Snow terpental dari sepeda, sementara ayah Snow tertabrak truk, Snow berteriak “Ayaaaaaahhh”. Ayah Snow banyak mengeluarkan darah dari kepalnya.
“Snow, anak kesayangan ayah, tepat di depan persimpangan itu ada sebuah taman, pergilah kesana, ada pohon besar yang kelopaknya berwarna putih dan berguguran, sama seperti salju yang diceritakan teman-teman Snow itu. Ayah ingin kita melihat bersama-sama, tetapi sepertinya ayah tidak bisa. Anakku, Snow adalah kelopak bunga itu, bagi ayah, Snow adalah salju di hati ayah, yang memberi kesejukan dan kedamaian di hati ayah. Ketika ayah lelah, wajah Snow adalah penghilang lelah itu, tetaplah menjadi salju di musim kemarau yang memberi kedamaian untuk orang-orang disekitarnya sama seperti kelopak bunga di pohon itu” Ucapan ayah Snow yang terakhir kalinya.
Seminggu telah berlalu, kesedihan mendalam masih saja menyesakkan hati Snow, Ia berdiri dibawah pohon yang ayah Snow maksud. Benar saja, kelopak itu berguguran seperti salju di musim kemarau. Tanpa Snow sadari air matanya mulai mengalir kembali. “Terima kasih untuk cintamu ayah, Snow janji akan menjadi keloapak ini, yang hadir seperti salju di musim kemarau yang memberi kedamaian untuk orang lain.”

Bukan karena .... Ukhti.

 


Bukan karena lebarnya Ukhti,,,
Tidak, sama sekali bukan tentang memamerkan kerudung yang lebar-lebar tanpa manfaat..
Bukan juga untuk menunjukkan bahwa kamilah yang terbaik.
Bukan karena banyaknya lapisan Ukhti...
Tidak, sama sekali bukan untuk berlomba-lomba menambah lapisan kerudung Ukhti..
Bukan untuk menunjukkan betapa kami punya banyak kerudung.
Bukan hanya sekadar tentang tebalnya Ukhti..
Kami hanya ingin memenuhi manfaat dari kerudung itu sendiri, untuk menjaga Ukhti.

Kami mengenakannya bukan hanya untuk sekedar trend, ngikutin mode, atau apalah itu, apalagi hanya sekedar mendapat julukan "Sok Alim", sungguh bukan karena itu.
Lalu untuk apa ? Mungkin, karena cinta Ukhti, mungkin karena kami telah jatuh cinta pada pemilik jiwa ini. Ya, layaknya seseorang yang sedang jatuh cinta, maka ia akan lakukan apapun apa yang diminta oleh yang dicintainya. Begitu juga dengan kami, karena kami sedang jatuh cinta, maka akan kami lakukan semua yang diperintahkan-Nya Ukhti.


Lagi pula, kerudung itu bukan sebuah pilihan Ukhti.

Kerudung itu adalah sebuah kewajiban.
Agar kita terjaga ukhti, agar kita memiliki identitas sejati. 

Tunggu apa Ukhti ?
Apa yang sedang Ukhti tunggu ?
Perbaiki diri, sempurnakan hati ?
Sungguh, terlalu sombong Ukhti, jika kita tidak menjalankan perintah Allah hanya karena alasan ingin menyempurnakan diri. Tiada manusia yang sempurna Ukhti.
Kami juga bukan orang yang telah sempurna Ukhti, tapi kami sedang berusaha untuk mengupgrade  diri. Agar tidak terlalu malu dan menyedihkan ketika harus kembali pada-Nya Ukhti.

Tidak Ukhti, kecantikan mu tdak akan berkurang karena berkerudung ukhti, justru engkau akan terlihat lebih cantik dan berharga.
Tidak Ukhti, engkau akan tetap hidup di jaman yang sama ukhti, karena kerudung tidaklah peneyebab "Ketinggalan Jaman" Ukhti.
Tidak Ukhti, Kerudungmu tidak akan membuatmu kehilangan karir.
Karena limpahan rezeki telah Allah persiapkan untukmu Ukhti Shalihah.
Tidak Ukhti, kerudungmu tidak akan membuatmu menua sendiri.
Justru engkau akan mendapat teman yang sama istimewa juga sepetrtimu ukhti.

Mengapa Ukhti ?
Mengapa masih ragu ?
Sulit untuk memulainya ?
Benar Ukhti, dulu kami juga sulit memulainya.
Pertimbangan-pertimbangan yang hanya untuk membuatmu menghindar dari kebenaran.
Tapi, jika tidak dimulai, maka itu tidak akan pernah terjadi.
Kerudung syar'i hanya akan menjadi angan-angan hati.

Ukhti, engkau tercipta sangat istimewa.
Dengan kelembutan hati dan keteguhan jiwa.
Sayang sekali Ukhti.
Jika dirimu, hanya berakhir menjadi curahan pandangan nafsu saja Ukhti.

Ukhti, engkau sangatlah Istimewa, maka Ukhti.
Istimewakanlah dirimu juga, karena kesalah kita adalah kita tidak bisa mengistimewakan diri kita yang istimewa.

Salam Sayang untukmu Ukhti
Saudari yang merindukanmu dalam Ukhuwah ini.


Rabu, 30 Oktober 2013

Untumu Ukhti

Assalamu'alaikum.
Dear : Wanita  Shalihah
Untuk engkau Ukhti.
Saudariku yang memanggil dalam kerinduan.
Apa kabar engkau hari ini ukhti ? Semoga iman masih saja menemani langkah kakimu. Ukhti... Sudahkah engkau merasa lelah ? Ukhti, tunggulah aku yang masih jauh dibelakangmu. Sekarang aku sedang mencoba berlari untuk mengikutimu. Kumohon, janganlah berbalik, tetaplah ke depan, aku yang akan datang menyusulmu ukhti. Berat langkah awal kakiku, melunakkan hati yang telah sempat menjadi besi.
Ukhti, harus kuakui tak mudah bagiku melewati, banyak jalan berduri. Tapi Ukhti, aku percaya di depan juga warna indah pelangi sedang menanti.